Update tentang islam dari beberapa penulis blog.

Kitab Ath Thaharah (bersuci) (12) - Bab Al Miyah (Tentang Air) (Bag.2)

๐Ÿ“† Selasa,  12 Rajab 1437H / 19 April 2016

๐Ÿ“š Fiqih dan Hadits

๐Ÿ“ Ustadz Farid Nu'man Hasan, SS.

๐Ÿ“‹ Kitab Ath Thaharah (bersuci) (12) - Bab Al Miyah (Tentang Air) (Bag.2)
๐ŸŒฟ๐ŸŒบ๐Ÿ‚๐Ÿ€๐ŸŒผ๐Ÿ„๐ŸŒท๐Ÿ

Materi sebelumnya
http://www.iman-islam.com/2016/04/kitab-ath-thaharah-bersuci-12-bab-al.html?m=1


๐Ÿ“‹3⃣ . Apakah ini berlaku untuk semua anjing atau tertentu saja?

 Pada hadits ini tidak disebutkan secara spesifik, oleh karena itu ini berlaku untuk semua anjing secara mutlak. Baik  anjing yang bisa dimanfaatkan, terlebih lagi anjing liar. Kaidahnya adalah yang mutlak tetap berlaku selama belum ada yang mengkhususkannya.

                Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan:

ูˆุงู„ูƒู„ุจ ู‡ู†ุง ู‡ูˆ ุงู„ุญูŠูˆุงู† ุงู„ู…ุนุฑูˆู ูˆุธุงู‡ุฑ ุงู„ุญุฏูŠุซ ุฃู†ู‡ ูŠุดู…ู„ ุงู„ูƒู„ุจ ุงู„ุฐูŠ ูŠุจุงุญ ุงู‚ุชู†ุงุฆู‡ ูˆุบูŠุฑู‡ ูˆุงู„ูƒู„ุงุจ ุงู„ุชูŠ ูŠุจุงุญ ุงู‚ุชู†ุงุฆู‡ุง ุซู„ุงุซุฉ ุฃู†ูˆุงุน .

1- ูƒู„ุจ ุงู„ุญุฑุซ ูŠุนู†ูŠ ูŠูƒูˆู† ู„ู„ุฅู†ุณุงู† ุจุณุชุงู†ุง ูˆูŠุฌุนู„ ููŠู‡ ูƒู„ุจุง ูŠุญุฑุซ ุงู„ุจุณุชุงู† ุนู† ุงู„ุฐุฆุงุจ ูˆุงู„ุซุนุงู„ุจ ูˆุบูŠุฑู‡ุง .

2- ูƒู„ุจ ุงู„ู…ุงุดูŠุฉ ูŠูƒูˆู† ุนู†ุฏ ุงู„ุฅู†ุณุงู† ู…ุงุดูŠุฉ ููŠ ุงู„ุจุฑ ูŠุญุชุงุฌ ุฅู„ู‰ ุญู…ุงูŠุชู‡ุง ูˆุญูุธู‡ุง ูŠุชุฎุฐ ูƒู„ุจุง ู„ูŠุญู…ูŠู‡ุง ู…ู† ุงู„ุฐุฆุงุจ ูˆุงู„ุณุจุงุน ูˆู…ู† ุงู„ุณุฑุงู‚ ูˆู†ุญูˆู‡ู… ู„ุฃู† ุจุนุถ ุงู„ูƒู„ุงุจ ู…ุนู„ู… ุฅุฐุง ุฃุชูŠ ุดุฎุต ุฃุฌู†ุจูŠ ู†ุจุญ ุญุชู‰ ูŠู†ุชุจู‡ ุตุงุญุจู‡ ู„ู‡

3- ูƒู„ุจ ุงู„ุตูŠุฏ ูŠุชุฎุฐ ุงู„ุฅู†ุณุงู† ูƒู„ุจุง ูŠุนู„ู…ู‡ ุงู„ุตูŠุฏ ูˆูŠุตูŠุฏ ุจู‡

๐Ÿ“Œ                Anjing dalam konteks hadits ini adalah hewan yang telah dikenal, secara zahirnya hadits ini mencakup anjing yang dibolehkan untuk disimpan (dipelihara) dan lainnya. Anjing yang diperbolehkan untuk dipelihara ada tiga jenis:

1⃣ Pertama, Kalbul Hartsi (Anjing Ladang),  yaitu   manusia menempatkannya di kebun, dan menjadikannya sebagai penjaga dari anjing hutan, serigala, dan lainnya.

2⃣ Kedua, Kalbul Maasyiyah (Anjing penjaga peternakan),  yaitu manusia memiliki hewan ternak yang hidupnya di darat, mereka membutuhkan perlindungan dan penjagaan, maka dijadikanlah anjing untuk menjaga hewan ternaknya dari ganggunan anjing hutan, serigala, pencuri, dan semisalnya. Sebab sebagian anjing telah diajarkan jika datang seorang asing, maka dia akan menggonggong  sehingga pemiliknya terjaga.

3⃣ Ketiga, Kalbul Shayd (Anjing Pemburu), manusia memanfaatkannya untuk diajarkan berburu dan berburu dengannya. (Asy Syarh Al Mukhtashar ‘ala Bulughil Maram, 2/8. Mawqi’ Al Islam)

                Termasuk dalam kategori anjing pemburu adalah anjing dimanfaatkan oleh kepolisian yakni anjing pelacak.

                Nah, selain jenis anjing ini, maka jumhur ulama memakruhkan memeliharanya. Seperti anjing sekedar untuk hobi, untuk dilombakan, dan semisalnya.

๐Ÿ“šMemelihara Anjing Untuk Hobi

                Ada fenomena yang memiriskan hati. Tidak sedikit orang yang memelihara anjing, dia rela mengeluarkan uang ratusan ribu bahkan jutaan untuk anjingnya sebagai biaya perawatan dalam satu bulan,  saat yang bersamaan ada tetangganya yang kelaparan dan lebih membutuhkan bantuannya, justru didiamkan. Bahkan dibanding dengan keluarganya sendiri, dia lebih perhatian dengan anjingnya. Lalu bagaimana hal ini sebenarnya dalam kacamata Islam?

                Jika kita lihat berbagai dalil yang ada, akan kita dapati bahwa memelihara anjing bukan karena kebutuhan dan asas manfaat, adalah terlarang. Larangan ini bukan karena najisnya, tetapi memang secara nash (teks agama) dia dilarang. Najis adalah satu hal, sedangkan memeliharanya adalah hal lain.  Hal ini perlu ditegaskan agar tidak ada yang menganggap bahwa larangan pemeliharaan itu karena faktor kenajisannya semata. Tidak, bukan karena itu.

๐Ÿ“š Dalil-Dalil Pelarangan

             1⃣   Pertama, hal ini dilarang karena mencegah masuknya malaikat, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ุฃَุชَุงู†ِูŠ ุฌِุจْุฑِูŠู„ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ุงู„ุณَّู„َุงู… ูَู‚َุงู„َ ู„ِูŠ ุฃَุชَูŠْุชُูƒَ ุงู„ْุจَุงุฑِุญَุฉَ ูَู„َู…ْ ูŠَู…ْู†َุนْู†ِูŠ ุฃَู†ْ ุฃَูƒُูˆู†َ ุฏَุฎَู„ْุชُ ุฅِู„َّุง ุฃَู†َّู‡ُ ูƒَุงู†َ ุนَู„َู‰ ุงู„ْุจَุงุจِ ุชَู…َุงุซِูŠู„ُ ูˆَูƒَุงู†َ ูِูŠ ุงู„ْุจَูŠْุชِ ู‚ِุฑَุงู…ُ ุณِุชْุฑٍ ูِูŠู‡ِ ุชَู…َุงุซِูŠู„ُ ูˆَูƒَุงู†َ ูِูŠ ุงู„ْุจَูŠْุชِ ูƒَู„ْุจٌ ูَู…ُุฑْ ุจِุฑَุฃْุณِ ุงู„ุชِّู…ْุซَุงู„ِ ุงู„َّุฐِูŠ ูِูŠ ุงู„ْุจَูŠْุชِ ูŠُู‚ْุทَุนُ ูَูŠَุตِูŠุฑُ ูƒَู‡َูŠْุฆَุฉِ ุงู„ุดَّุฌَุฑَุฉِ ูˆَู…ُุฑْ ุจِุงู„ุณِّุชْุฑِ ูَู„ْูŠُู‚ْุทَุนْ ูَู„ْูŠُุฌْุนَู„ْ ู…ِู†ْู‡ُ ูˆِุณَุงุฏَุชَูŠْู†ِ ู…َู†ْุจُูˆุฐَุชَูŠْู†ِ ุชُูˆุทَุขَู†ِ ูˆَู…ُุฑْ ุจِุงู„ْูƒَู„ْุจِ ูَู„ْูŠُุฎْุฑَุฌْ

          ๐Ÿ“Œ      “Malaikat Jibril ‘Alaihis Salam  mendatangiku, dia berkata kepadaku: ‘Aku mendatangimu semalam, tak ada yang menghalangiku masuk ke rumah kecuali karena di pintu rumah terdapat patung, di rumah ada gorden yang bergambar patung, dan di rumah terdapat anjing. Maka, perintahkanlah agar patung yang di rumah agar dipotong kepalanya sehingga bentuknya seperti pohon, dan perintahkanlah agar gorden itu dirobek dan dijadikan dua buah bantal untuk diduduki, dan perintahkan agar anjing itu dkeluarkan.”    (HR. Abu Daud No. 4158, At Tirmidzi No. 2806, katanya: hasan shahih, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 6314, Ahmad No. 9063, dengan lafaz yang lebih ringkas. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih sesuai syarat syaikhan (Bukhari - Muslim). Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 9063)

            2⃣    Kedua,   karena bisa mengurangi pahala amal shalih. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

ู‚َุงู„َ ุฑَุณُูˆู„ُ ุงู„ู„َّู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ู…َู†ْ ุฃَู…ْุณَูƒَ ูƒَู„ْุจًุง ูŠَู†ْู‚ُุตْ ู…ِู†ْ ุนَู…َู„ِู‡ِ ูƒُู„َّ ูŠَูˆْู…ٍ ู‚ِูŠุฑَุงุทٌ ุฅِู„َّุง ูƒَู„ْุจَ ุญَุฑْุซٍ ุฃَูˆْ ูƒَู„ْุจَ ู…َุงุดِูŠَุฉٍ

            ๐Ÿ“Œ    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda: “Barangsiapa yang memelihara anjing maka nilai amal shalihnya berkurang setiap hari sebesar satu qirath, kecuali anjing penjaga ladang atau anjing penjaga binatang.”  (HR. Bukhari No. 3324)

                Sementara dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ู…َู†ْ ุงุชَّุฎَุฐَ ูƒَู„ْุจًุง ุฅِู„َّุง ูƒَู„ْุจَ ุฒَุฑْุนٍ ุฃَูˆْ ุบَู†َู…ٍ ุฃَูˆْ ุตَูŠْุฏٍ ูŠَู†ْู‚ُุตُ ู…ِู†ْ ุฃَุฌْุฑِู‡ِ ูƒُู„َّ ูŠَูˆْู…ٍ ู‚ِูŠุฑَุงุทٌ

            ๐Ÿ“Œ    “Barangsiapa yang memelihara anjing, kecuali anjing penjaga tanaman, atau penjaga ternak, atau anjing pemburu, maka berkuranglah pahalanya setiap harinya satu qirath.”   (HR. Muslim No. 1574, 56)

                Dalam riwayat Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, disebutkan berkurang pahalanya dua qirath.

 ู…َู†ْ ุงู‚ْุชَู†َู‰ ูƒَู„ْุจًุง ู„َูŠْุณَ ุจِูƒَู„ْุจِ ู…َุงุดِูŠَุฉٍ ุฃَูˆْ ุถَุงุฑِูŠَุฉٍ ู†َู‚َุตَ ูƒُู„َّ ูŠَูˆْู…ٍ ู…ِู†ْ ุนَู…َู„ِู‡ِ ู‚ِูŠุฑَุงุทَุงู†ِ

        ๐Ÿ“Œ        Barang siapa yang memelihara seekor anjing bukan untuk menjaga ternak  atau bukan untuk dilatih berburu, maka berkurang dari pahalanya setiap hari sebanyak dua qirath.         (HR. Bukhari No. 5480)

Tentang ukuran satu qirath, hanya Allah Ta’ala yang tahu sebagaimana yang dikatakan Imam An Nawawi dan Imam Sulaiman bin Khalaf Al Baji Rahimahumallah.[1]

Tertulis dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, bahwa para ulama berselisih pendapat kenapa pahala amalnya berkurang: Ada yang mengatakan karena dengan anjing itu membuat tercegahnya malaikat masuk, ada juga yang mengatakan sebagai hukuman bagi pemiliknya karena dia telah memelihara sesuatu yang dilarang untuk dipelihara, dan itu merupakan pembangkangan, atau karena kelalaian pemiliknya untuk memcuci liurnya  jika anjing tersebut menjilat.  (Al Minhaj, 5/426)

                Perlu diketahui, larangan di atas dalam pandangan jumhur hanya bernilai makruh (dibenci), bukan haram. Sebab jika haram, maka tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membolehkannya untuk keperluan berburu,  menjaga ladang, dan ternak. Para ulama kita menyebutkan, di antara hikmah dibalik pelarangan memelihara anjing bila tanpa keperluan adalah; jika anjing itu menggonggong dapat membuat takut dan membuat lari tamu atau orang yang lewat.

๐Ÿ“šMemelihara Anjing pemburu, Penjaga Ladang, dan Penjaga Hewan Ternak

                Jika kita baca hadits-hadits di atas bisa kita fahami bahwa Rasulullah Shallallah ‘Alaihi wa Sallam memberikan izin memelihara anjing selama untuk beburu, menjaga, ladang dan hewan ternak. Untuk zaman sekarang fungsinya bisa ditambah sebagai pelacak penjahat, pelacak bom, dan lain-lain. Ini semua dibolehkan berdasarkan pengecualian hadits-hadits di atas.

                Dari Abdullah bin Mughaffal bahwa Rasulullah Shallallahu “Alaihi wa Sallam:

ุซُู…َّ ุฑَุฎَّุตَ ูِูŠ ูƒَู„ْุจِ ุงู„ุตَّูŠْุฏِ ูˆَูƒَู„ْุจِ ุงู„ْุบَู†َู…ِ

๐Ÿ“Œ“Kemudian beliau memberi  keringanan terhadap anjing pemburu dan anjing penjaga kambing”.   (HR. Muslim No. 1573, 48)

                 Imam Abul Walid Sulaiman bin Khalaf Al Baji Rahimahullah mengatakan:

ู‚َุงู„َ ู…َุงู„ِูƒٌ ุฑَุญِู…َู‡ُ ุงู„ู„َّู‡ُ : ู„َุง ุจَุฃْุณَ ุจِุงِุชِّุฎَุงุฐِ ุงู„ْูƒِู„َุงุจِ ู„ِู„ْู…َูˆَุงุดِูŠ ูƒُู„ِّู‡َุง

   ๐Ÿ“Œ             Berkata Imam Malik Rahimahullah, “Tidak mengapa memelihara anjing untuk menjaga semua binatang.”   (Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, 4/410. Mawqi’ Al Islam)

๐Ÿ“šLarangan Jual Beli Anjing

                Hal ini ditegaskan oleh hadits dari Abu Mas’ud al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

ุฃَู†َّ ุฑَุณُูˆู„َ ุงู„ู„َّู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ู†َู‡َู‰ ุนَู†ْ ุซَู…َู†ِ ุงู„ْูƒَู„ْุจِ ูˆَู…َู‡ْุฑِ ุงู„ْุจَุบِูŠِّ ูˆَุญُู„ْูˆَุงู†ِ ุงู„ْูƒَุงู‡ِู†ِ

๐Ÿ“Œ“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  melarang hasil penjualan anjing, mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun.”   (HR. Bukhari No. 2237 dan Muslim No. 1567, 39)

Keharamannya sangat tegas, bahkan disamakan dengan hasil pelacuran dan perdukunan. Oleh karena itu Imam Muslim membuat bab berjudul: Bab Tahrim Tsamanil Kalbi …dst, yang artinya Bab Diharamkannya harga anjing...

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah mengatakan:

ูˆَุธَุงู‡ِุฑ ุงู„ู†َّู‡ْูŠ ุชَุญْุฑِูŠู… ุจَูŠْุนู‡ ، ูˆَู‡ُูˆَ ุนَุงู…ّ ูِูŠ ูƒُู„ّ ูƒَู„ْุจ ู…ُุนَู„َّู…ًุง ูƒَุงู†َ ุฃَูˆْ ุบَูŠْุฑู‡ ู…ِู…َّุง ูŠَุฌُูˆุฒ ุงِู‚ْุชِู†َุงุคُู‡ُ ุฃَูˆْ ู„َุง ูŠَุฌُูˆุฒ

๐Ÿ“Œ                Menurut zhahir larangannya menunjukkan haram atas penjualannya, dan hal ini umum untuk setiap anjing baik anjing yang terlatih atau tidak, baik yang dibolehkan yang djpelihara atau yang dilarang dipelihara. (Fathul Bari, 4/426)

                Demikianlah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, walau ada pula yang membolehkan penjualan anjing pemburu yakni Imam ‘Atha dan Imam Ibrahim an Nakha’i.(Ibid)

                Pelarangan-pelarangan ini sifatnya adalah ibadah (ta’abbudi), sama sekali bukan menunjukkan bahwa Islam tidak memiliki belas kasihan. Justru Islam memberikan apresiasi tinggi kepada siapa saja yang menyelamatkan makhluk Allah Ta’ala, termasuk anjing.

                Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menceritakan, adanya seorang laki-laki yang menjumpai anjing di padang pasir sedang menggonggong sambil makan debu karena kehausan. Lantas laki-laki itu menuju sebuah sumur dan mengambilkan air sepenuh sepatunya untuk anjing tersebut, hingga anjing tersebut minum sampai puas. Setelah itu Beliau bersabda:

ูَุดَูƒَุฑَ ุงู„ู„َّู‡ُ ู„َู‡ُ ูَุบَูَุฑَ ู„َู‡

  ๐Ÿ“Œ              “Maka Allah berterima kasih kepadanya, dan mengampuni dosa orang itu.”  (HR. Bukhari No. 6009)

                Selesai.

3⃣ . Pada hadits ini juga diajarkan tentang tata cara membersihkan najis liur anjing tersebut. Yaitu dengan dibuang airnya, lalu dicuci  bejananya sebanyak tujuh kali, yang pertama atau yang terakhirnya menggunakan tanah.

๐Ÿ“šWajibkah tujuh kali?

Berbagai riwayat juga menyebutkan bahwa mencucinya adalah tiga kali, ada juga tujuh kali, dan juga delepan kali. Sehingga ada yang menyebutkan tujuh kali itu hanya sunah bukan wajib, sebab Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu pernah memerintahkan mencucinya tiga kali sebagaimana diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dan Ath Thahawi. Tetapi  riwayat yang menyebut tujuh kali lebih banyak  dan lebih kuat sanadnya dan disebutkan oleh Bukhari dan Muslim pula. Inilah yang benar sebagaimana dikatakan Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam.

                Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengatakan:

ุฃู†ู‡ ุฏู„ ุงู„ุญุฏูŠุซ ุนู„ู‰ ูˆุฌูˆุจ ุณุจุน ุบุณู„ุงุช ู„ู„ุฅู†ุงุก ูˆู‡ูˆ ูˆุงุถุญ.

๐Ÿ“Œ                Sesungguhnya hadits ini menunjukkan kewajiban mencuci tujuh kali, dan ini begitu jelas. (Subulus Salam, 1/22)

                Beliau mengoreksi pihak-pihak yang mengatakan tidak wajibnya mencuci “tujuh kali”, katanya:

ูˆุฃุฌูŠุจ ุนู† ู‡ุฐุง: ุจุฃู† ุงู„ุนู…ู„ ุจู…ุง ุฑูˆุงู‡ ุนู† ุงู„ู†ุจูŠ ุตَู„ّู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„ّู…، ู„ุง ุจู…ุง ุฑุขู‡، ูˆุฃูุชู‰ ุจู‡، ูˆุจุฃู†ู‡  ู…ُุนَุงุฑَุถٌ ุจู…ุง ุฑูˆู‰ ุนู†ู‡ ุฃูŠุถุงً: ุฃู†ู‡ ุฃูุชู‰ ุจุงู„ุบุณู„ ุณุจุนุงً ูˆู‡ูŠ ุฃุฑุฌุญ ุณู†ุฏุงً، ูˆุชุฑุฌุญ ุฃูŠุถุงً ุจุฃู†ู‡ุง ุชูˆุงูู‚ ุงู„ูˆุฑูˆุงูŠุฉ ุงู„ู…ุฑููˆุนุฉ. ูˆุจู…ุง ุฑูˆู‰ ุนู†ู‡ ุตَู„ّู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„ّู… ุฃู†ู‡ ู‚ุงู„ ููŠ ุงู„ูƒู„ุจ ูŠู„ุบ ููŠ ุงู„ุฅู†ุงุก: "ูŠُุบุณู„ُ ุซู„ุงุซุงً ุฃูˆ ุฎู…ุณุงً ุฃูˆ ุณุจุนุงً" ู‚ุงู„ูˆุง: ูุงู„ุญุฏูŠุซ ุฏู„ ุนู„ู‰ ุนุฏู… ุชุนูŠูŠู† ุงู„ุณุจุน ูˆุฃู†ู‡ ู…ุฎูŠุฑ، ูˆู„ุง ุชุฎูŠูŠุฑ ููŠ ู…ุนูŠู†، ูˆุฃุฌูŠุจ ุนู†ู‡، ุจุฃู†ู‡ ุญุฏูŠุซ ุถุนูŠู ู„ุง ุชู‚ูˆู… ุจู‡ ุญุฌุฉ.


 ๐Ÿ“Œ               Saya jawab: sesungguhnya yang dipraktekkan adalah apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukan mengamalkan pendapatnya (Abu Hurairah), dan dia berfatwa dengan hal itu dan itu bertentangan dengan apa yang diriwayatkan darinya juga: bahwa dia (nabi) berfatwa dengan mencucinya tujuh kali dan ini sanadnya lebih kuat, dan diperkuat pula bahwa ini sesuai dengan riwayat yang marfu’ (sampai kepada nabi). Ada pun dengan riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang anjing yang minum di bejana: “Dicuci tiga   atau lima atau tujuh kali.” Mereka mengatakan: “Hadits ini menunjukkan tidak ada  pengkhususan tujuh kali, itu hanya opsional (pilihan) saja.  Tidak pilihan dalam hal yang sudah khusus.” Saya jawab: “Hadits ini dhaif, tidak bisa dijadikan hujjah.” (Ibid)

                Sedangkan diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Beliau mewajibkan delapan kali. Berikut ini keterangannya:

ูˆุฑูˆูŠ ุนู† ุงู„ุฅู…ุงู… ุฃุญู…ุฏ ุฑูˆุงูŠุฉ ุฃุฎุฑู‰ ุจูˆุฌูˆุจ ุบุณู„ ู†ุฌุงุณุฉ ุงู„ูƒู„ุจ ูˆุงู„ุฎู†ุฒูŠุฑ ุซู…ุงู†ูŠ ู…ุฑุงุช ุฅุญุฏุงู‡ู† ุจุงู„ุชุฑุงุจ ، ูˆุฅู„ู‰ ู‡ุฐุง ุฐู‡ุจ ุงู„ุญุณู† ุงู„ุจุตุฑูŠ ؛ ู„ู‚ูˆู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ููŠ ุจุนุถ ุฑูˆุงูŠุงุช ุงู„ุญุฏูŠุซ : ูˆุนูุฑูˆู‡ ุงู„ุซุงู…ู†ุฉ ุจุงู„ุชุฑุงุจ

๐Ÿ“Œ                Diriwayatkan dari Imam Ahmad –pada riwayatnya yang lain- wajibnya mencuci najis anjing dan babi sebanyak delapan kali salah satunya dengan tanah, dan inilah pendapat Al Hasan Al Bashri, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda pada sebagian riwayat hadits: “ ...  lumurilah yang ke delapan dengan tanah.” (Imam Ibnu Qudamah,Al Mughni, 1/52)

๐Ÿ“šKapankah Tanah dicampurkan?

                Hadits  yang kita bahas ini menyebutkan: ulahunna bit turaab  (yang pertama dengan tanah), ada juga ukhraahunna(yang akhirnya), ada juga ihdaahunna (salah satunya), tetapi ulaahunna lebih banyak dan disebutkan oleh Bukhari dan Muslim.

                Sebagian ulama menyebutkan tidak masalah pada cucian ke berapa tanah itu dicampurkan, sebab yang penting adalah bersihnya dari najis telah tercapai, sedangkan kapankah tanah dicampurkan? Itu bukan tujuannya.

                Disebutkan dalam Al Mausu’ah:

ูˆَู…َุชَู‰ ุบُุณِู„ ุจِู‡ِ ุฃَุฌْุฒَุฃَู‡ُ ، ู„ุฃِู†َّู‡ُ ุฑُูˆِูŠَ ูِูŠ ุญَุฏِูŠุซٍ : ุฅِุญْุฏَุงู‡ُู†َّ ุจِุงู„ุชُّุฑَุงุจِ ูˆَูِูŠ ุญَุฏِูŠุซٍ : ุฃُูˆู„ุงَู‡ُู†َّ ูˆَูِูŠ ุญَุฏِูŠุซٍ : ูِูŠ ุงู„ุซَّุงู…ِู†َุฉِ ูَูŠَุฏُู„ ุนَู„َู‰ ุฃَู†َّ ู…َุญَู„ ุงู„ุชُّุฑَุงุจِ ู…ِู†َ ุงู„ْุบَุณَู„ุงَุชِ ุบَูŠْุฑُ ู…َู‚ْุตُูˆุฏٍ .

๐Ÿ“Œ                Kapankah dianggap sah dicucinya dengan tanah, karena telah diriwayatkan dalam hadits: salah satunya dengan tanah, pada hadits lain: yang pertama, pad ahadits lain: yang kedelapan, maka ini menunjukkan bahwa posisi (waktu) pencampuran tanah pada pencucian bukanlah tujuannya. (Al Masu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/193)

Namun,  diawalkan lebih utama dibanding diakhirkan.  Disebutkan demikian:

ูˆَูŠَูƒْุชَูِูŠ ุจِูˆُุฌُูˆุฏِ ุงู„ุชُّุฑَุงุจِ ูِูŠ ูˆَุงุญِุฏَุฉٍ ู…ِู†َ ุงู„ْุบَุณَู„ุงَุชِ ุงู„ุณَّุจْุนِ ، ูˆَู„َูƒِู†ْ ูŠُุณْุชَุญَุจُّ ุฃَู†ْ ูŠَูƒُูˆู†َ ูِูŠ ุบَูŠْุฑِ ุงู„ุฃْุฎِูŠุฑَุฉِ ، ูˆَุฌَุนْู„ُู‡ُ ูِูŠ ุงู„ุฃْ ูˆู„َู‰ ุฃَูˆْู„َู‰

  ๐Ÿ“Œ          Sudah mencukupi pemakaian tanah pada salah satu dari tujuh kali cucian itu, tetapi disukai hal itu  bukan pada yang terakhir, hendaknya dipakainya pada yang pertama kali, itu lebih utama. (Lihat Mughni Muhtaj, 1/83, Al Mughni, 1/52, Al Jumal ‘ala Syarhil Minhaj,  1/184)

๐Ÿ“šWajibkah campuran tanah dan air itu?

Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah mewajibkan mensucikan najisnya anjing, babi, dan kotoran mereka dengan menggunakan campuran air dan tanah, sesuai zahir hadits Abu Hurairah ini. Sedangkan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat itu tidak wajib. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 3/114)

Selanjutnya ........

Dalam masalah campuran tanah dan air. Tidak ada perbedaan antara pencampuran tanah dan air tersebut; apakah air yang dimasukkan ke tanah, atau tanah yang dicampurkan ke air. (Subulus Salam, 1/22)

๐Ÿ“šBolehkah dengan selain tanah?

                Saat ini sudah ada sabun, atau semisalnya, yang bisa membersihkan najis tersebut bahkan bisa jadi lebih bersih. Selain juga lebih harum aromanya. Apakah ini dibolehkan?

                Sebagian kalangan Hanabilah (Hambaliyah)   membolehkan hal itu ketika memang tidak didapatkannya tanah, selama tujuannya tetap tercapai dan terpelihara, yaitu hilangnya najis, maka alat apa pun tidak masalah. Hal ini sama halnya dengan menggantikan siwak dengan sikat gigi dan  pastanya, di mana Imam An Nawawi menyebutkan bahwa bersiwak dengan benda apa pun tetap disebut bersiwak walau dengan tangan, kain, kayu arok (siwak), dan lainnya, selama tidak membahayakan.[2]

                Di sebutkan sebagai berikut:

ูˆَู„ِุจَุนْุถِ ุงู„ْุญَู†َุงุจِู„َุฉِ : ูŠَุฌُูˆุฒُ ุงู„ْุนُุฏُูˆู„ ุนَู†ِ ุงู„ุชُّุฑَุงุจِ ุฅِู„َู‰ ุบَูŠْุฑِู‡ِ ุนِู†ْุฏَ ุนَุฏَู…ِ ุงู„ุชُّุฑَุงุจِ ، ุฃَูˆْ ุฅِูْุณَุงุฏِ ุงู„ْู…َุญَู„ ุงู„ْู…َุบْุณُูˆู„ ุจِู‡ِ . ูَุฃَู…َّุง ู…َุนَ ูˆُุฌُูˆุฏِู‡ِ ูˆَุนَุฏَู…ِ ุงู„ุถَّุฑَุฑِ ูَู„ุงَ .

            Menurut sebagian Hanabilah: dibolehkan menggantikan tanah dengan selainnya  yang sepadan dengan tanah  ketika tidak ada tanah, atau ketika rusaknya tempat yang dicuci jika dengan tanah. Ada pun kalau ada tanah dan tidak ada kerusakan, maka tidak boleh. (Lihat Al Mughni, 1/52, Raudhatuth Thalibin, 1/32-33, Syarh Raudhatuth Thalibin min Asnal Mathalib, 1/21)

                Ulama lain menyebutkan bahwa yang shahih adalah tetap tidak boleh, sebab masalah mencuci najis ini adalah perkara ta’abbudiyah yang mesti tunduk terhadap nash yang ada.

                Disebutkan dalam Al Mausu’ah:

ูَุงู„ุฃْุตَุญُّ ุฃَู†َّู‡ُ ู„ุงَ ูŠُุฌْุฒِุฆُ ، ู„ุฃَِู†َّู‡ُ ุทَู‡َุงุฑَุฉٌ ุฃَู…َุฑَ ูِูŠู‡َุง ุจِุงู„ุชُّุฑَุงุจِ ุชَุนَุจُّุฏًุง ، ูˆَู„ِุฐَุง ู„َู…ْ ูŠَู‚ُู…ْ ุบَูŠْุฑُู‡ُ ู…َู‚َุงู…َู‡ُ .

๐Ÿ“Œ                Maka, yang shahih adalah tidak mencukupi (mencuci selain dengan tanah,pen), karena perintah bersuci dengan tanah adalah perkara ta’abbudiyah (peribadatan), oleh karenanya posisinya tidak bisa digantikan oleh selainnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/139)

                Lebih baik memang menggunakan tanah, hal itu untuk keluar dari khilafiyah. Dan, keluar dari khilafiyah adalah jalan yang lebih baik untuk dilakukan. Segitu dulu deh ........

                Wallahu A’lam ..........., wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala aalihi wa ashhabihi ajmain

     〰〰〰〰〰〰〰〰〰



[1]  Namun, Imam Muslim meriwayatkan bahwa satu qirathadalah semisal gunung uhud. Dari Sa’ad bin Abi WaqqashRadhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda: “Barangsiapa yang mengiringi jenazah dari rumahnya, lalu menshalatkannya, lalu mengantarkannya sampai ke kuburnya, maka baginya balasan dua qirath, dan satu qirath itu semisal gunung Uhud. Barang siapa yang menshalatkan mayat lalu dia pulang, maka baginya satu qirath semisal gunung Uhud.” (HR. Muslim, Fadhl Ash Shalah ‘Ala Al Janazah wat Tiba’iha, No. 945, 53), dalam riwayat Al Bukhari dan Muslim yang lainnya disebut seukuran gunung besar.



[2] Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

ูˆูŠู†ุจุบูŠ ุฅุฐุง ุฃุฑุงุฏ ุงู„ู‚ุฑุงุกุฉ ุฃู† ูŠู†ุธู ูุงู‡ ุจุงู„ุณูˆุงูƒ ูˆุบูŠุฑู‡ ูˆุงู„ุงุฎุชูŠุงุฑ ููŠ ุงู„ุณูˆุงูƒ ุฃู† ูŠูƒูˆู† ุจุนูˆุฏ ู…ู† ุฃุฑุงูƒ ูˆูŠุฌูˆุฒ ุจุณุงุฆุฑ ุงู„ุนูŠุฏุงู† ูˆุจูƒู„ ู…ุง ูŠู†ุธู ูƒุงู„ุฎุฑู‚ุฉ ุงู„ุฎุดู†ุฉ ูˆุงู„ุฃุดู†ุงู† ูˆุบูŠุฑ ุฐู„ูƒ

                “Hendaknya jika hendak membaca Al Quran dia membersihkan mulutnya dengan siwak dan selainnya.  Siwak yang dipilih berasal dari batang kayu Arok, dan dibolehkan dengan semua jenis batang kayu, dan apa saja yang dapat membersihkan, seperti dengan kain perca yang kasar dan usang, dan selain itu.”(At Tibyan fi Adab Hamalatil Quran, Hal. 73. Mawqi’ Ruh Al Islam)


๐ŸŒฟ๐ŸŒบ๐Ÿ‚๐Ÿ€๐ŸŒผ๐Ÿ„๐ŸŒท๐Ÿ๐ŸŒน

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

๐Ÿ’ผ Sebarkan! Raih pahala...


@



Kamu sedang berada dipostingan Kitab Ath Thaharah (bersuci) (12) - Bab Al Miyah (Tentang Air) (Bag.2), Kitab Ath Thaharah (bersuci) (12) - Bab Al Miyah (Tentang Air) (Bag.2), Kitab Ath Thaharah (bersuci) (12) - Bab Al Miyah (Tentang Air) (Bag.2), Kitab Ath Thaharah (bersuci) (12) - Bab Al Miyah (Tentang Air) (Bag.2), Kitab Ath Thaharah (bersuci) (12) - Bab Al Miyah (Tentang Air) (Bag.2), Kitab Ath Thaharah (bersuci) (12) - Bab Al Miyah (Tentang Air) (Bag.2), Kitab Ath Thaharah (bersuci) (12) - Bab Al Miyah (Tentang Air) (Bag.2) , Kitab Ath Thaharah (bersuci) (12) - Bab Al Miyah (Tentang Air) (Bag.2)

0 comments:

Post a Comment - Kembali ke Konten

Kitab Ath Thaharah (bersuci) (12) - Bab Al Miyah (Tentang Air) (Bag.2)