Update tentang islam dari beberapa penulis blog.

Haruskah Minta Izin Istri Jika Ingin Poligami?

Ustadzah Dra Indra Asih

๐ŸŒฟ๐Ÿ๐ŸŒบ๐Ÿ„๐Ÿ€๐ŸŒท๐ŸŒป๐ŸŒน

Assalamu'alaikum...ustad/ustadzah...sy mau tanya....
1. Bila ada seorang laki-laki yang sudah punya istri,tapi istrinya bermasalah tdk bisa hamil ,lalu si suami suka dgn wanita lain dan berhubungn atau berteman baik tanpa sepengetahuan istrinya, kemudian ingin menikahinya,asalnya mau poligami, tp dgn berjalannya waktu si laki-laki tadi mencerai istrinya dan menikah dgn wanita lain itu, berdosakah wanita yg dinikahi laki-laki tadi?
2. Bagaimana cara mengambil keputusan yg terbaik diantara beberapa pilihan?apakah dgn shalat istikharah? Ada yg bilang, klo sholat istikharah, yg sholat harus kondisi netral tdk ada kecenderungan yg besar ke salah satu pilihan ,apakah betul begitu?jika yg mau sholat sudah ada kecenderungan ke salah satu pilihan, bagaimana untuk menentukan apakah pilihannya itu sudah yg terbaik dari Allah?
⬆ pertanyaan dr ๐Ÿ…ฐ0⃣7⃣

-----------------------

Jawabannya :
1.Tidak ada larangan suami dalam hal ini terlebih lagi jika terdapat kebutuhan dan kemaslahatan di dalamnya, seperti : untuk mendapatkan keturunan, selama suami mampu untuk berlaku adil didalamnya.

ูَุฅِู†ْ ุฎِูْุชُู…ْ ุฃَู„ุงَّ ุชَุนْุฏِู„ُูˆุงْ ูَูˆَุงุญِุฏَุฉً

Artinya : “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja.” (QS. An Nisaa : 3)

Diriwayatkan oleh an Nasai dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda: “Barang siapa yang memiliki dua orang isteri dan dia lebih condong kepada salah seorang di antara mereka maka dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan salah satu sisinya miring.”

Tidak ada keharusan bagi seorang suami yang ingin berpoligami untuk meminta izin atau mendapatkan restu terlebih dahulu dari istrinya baik lisan maupun tulisan. Namun lebih baik jika mengajak istri berbicara atau meminta pendapatnya dengan menceritakan sebab-sebab yang melatarbelakangi keinginan suami, kemaslahatan yang ada didalamnya serta tinjauan syariah dalam hal ini.

Yang jadi masalah adalah mengapa hubungan itu kemudian mengakibatkan ada perceraian? Kurang jelas/cukup datanya di sini


2.Dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

ูƒَุงู†َ ุฑَุณُูˆู„ُ ุงู„ู„َّู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ูŠُุนَู„ِّู…ُู†َุง ุงู„ِุงุณْุชِุฎَุงุฑَุฉَ ูِูŠ ุงู„ْุฃُู…ُูˆุฑِ ูƒُู„ِّู‡َุง ูƒَู…َุง ูŠُุนَู„ِّู…ُู†َุง ุงู„ุณُّูˆุฑَุฉَ ู…ِู†ْ ุงู„ْู‚ُุฑْุขู†ِ ูŠَู‚ُูˆู„ُ ุฅِุฐَุง ู‡َู…َّ ุฃَุญَุฏُูƒُู…ْ ุจِุงู„ْุฃَู…ْุฑِ ูَู„ْูŠَุฑْูƒَุนْ ุฑَูƒْุนَุชَูŠْู†ِ ู…ِู†ْ ุบَูŠْุฑِ ุงู„ْูَุฑِูŠุถَุฉِ ุซُู…َّ ู„ِูŠَู‚ُู„ْ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengajari kami shalat istikharah dalam  yang kami hadapi, sebagaimana beliau mengajarkan kami suatu surah dari Al-Quran. Beliau berkata, “Jika salah seorang di antara kalian  dalam suatu urusan, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang bukan shalat wajib, kemudian berdoalah…”. (HR. Al-Bukhari)

Ada 2 hal mendasar:

Yang pertama, Nabi mengajarkan shalat istikharah dalam setiap perkara / urusan. Jadi tidak benar ada anggapan bahwa shalat istikharah hanya dilakukan terbatas untuk urusan yang meragukannya, sehingga ia perlu melakukan shalat istikharah. Karena dalam bahasa Arab, kata  memiliki arti setiap / semua.

Kedua, sebagian orang salah paham dalam melaksanakan shalat istikharah. Sebagian dari mereka melakukan shalat istikharah ketika dihadapkan kepada pilihan yang sulit atau meragukannya. Padahal ini kurang tepat, karena yang tepat adalah ketika seseorang telah mantap hatinya dengan keputusan yang ia ambil dalam urusan yang dihadapinya.

Jika BERNIAT, sebagian orang mengartikannya dengan menghadapi, padahal jika diartikan demikian, maka shalat istikharah dilakukan sebelum hati mantap dengan keputusan. Padahal shalat istikharah dilakukan saat hati telah mantap dengan keputusan.

Apa hikmahnya ketika shalat istikharah dilakukan saat hati telah mantap.

1. Jika seseorang telah mantap dengan suatu urusan, maka ia memohon kepada Allah, apabila urusannya tersebut baik dan diridhai oleh Allah, maka Allah akan mempermudah jalannya untuk mendapatkan perkara tersebut.

2. Jika perkara tersebut tidaklah baik baginya, Allah akan datangkan penghalang dan pencegah baginya, sehingga ia akan dicegah untuk melaksanakan urusan tersebut.

Allah Ta’ala berfirman,

ูˆَุนَุณَู‰ ุฃَู†ْ ุชَูƒْุฑَู‡ُูˆุง ุดَูŠْุฆًุง ูˆَู‡ُูˆَ ุฎَูŠْุฑٌ ู„َูƒُู…ْ ูˆَุนَุณَู‰ ุฃَู†ْ ุชُุญِุจُّูˆุง ุดَูŠْุฆًุง ูˆَู‡ُูˆَ ุดَุฑٌّ ู„َูƒُู…ْ ูˆَุงู„ู„َّู‡ُ ูŠَุนْู„َู…ُ ูˆَุฃَู†ْุชُู…ْ ู„َุง ุชَุนْู„َู…ُูˆู†َ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Melihat dalam mimpi mengenai pilihannya bukanlah syarat dalam istikhoroh karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal ini. Namun orang-orang awam masih banyak yang memiliki pemahaman semacam ini. Yang tepat, istikhoroh tidak mesti menunggu mimpi. Yang jadi pilihan dan sudah jadi tekad untuk dilakukan, maka itulah yang dilakukan. Terserah apa yang ia pilih tadi, mantap bagi hatinya atau pun tidak, maka itulah yang ia lakukan karena tidak dipersyaratkan dalam hadits bahwa ia harus mantap dalam hati. Jika memang yang jadi pilihannya tadi dipersulit, maka berarti pilihan tersebut tidak baik untuknya. Namun jika memang pilihannya tadi adalah baik untuknya, pasti akan Allah mudahkan.

 Cara Istikhoroh

Pertama: Ketika ingin melakukan suatu urusan yang mesti dipilih salah satunya, maka terlebih dahulu ia pilih di antara pilihan-pilihan yang ada.

Kedua: Jika sudah bertekad melakukan pilihan tersebut, maka kerjakanlah shalat dua raka’at (terserah shalat sunnah apa saja sebagaimana dijelaskan di awal).

Ketiga: Setelah shalat dua raka’at, lalu berdo’a dengan do’a istikhoroh:

ุงู„ู„َّู‡ُู…َّ ุฅِู†ِّู‰ ุฃَุณْุชَุฎِูŠุฑُูƒَ ุจِุนِู„ْู…ِูƒَ ، ูˆَุฃَุณْุชَู‚ْุฏِุฑُูƒَ ุจِู‚ُุฏْุฑَุชِูƒَ ، ูˆَุฃَุณْุฃَู„ُูƒَ ู…ِู†ْ ูَุถْู„ِูƒَ ، ูَุฅِู†َّูƒَ ุชَู‚ْุฏِุฑُ ูˆَู„ุงَ ุฃَู‚ْุฏِุฑُ ، ูˆَุชَุนْู„َู…ُ ูˆَู„ุงَ ุฃَุนْู„َู…ُ ، ูˆَุฃَู†ْุชَ ุนَู„ุงَّู…ُ ุงู„ْุบُูŠُูˆุจِ ، ุงู„ู„َّู‡ُู…َّ ูَุฅِู†ْ ูƒُู†ْุชَ ุชَุนْู„َู…ُ ู‡َุฐَุง ุงู„ุฃَู…ْุฑَ – ุซُู…َّ ุชُุณَู…ِّูŠู‡ِ ุจِุนَูŠْู†ِู‡ِ – ุฎَูŠْุฑًุง ู„ِู‰ ูِู‰ ุนَุงุฌِู„ِ ุฃَู…ْุฑِู‰ ูˆَุขุฌِู„ِู‡ِ – ู‚َุงู„َ ุฃَูˆْ ูِู‰ ุฏِูŠู†ِู‰ ูˆَู…َุนَุงุดِู‰ ูˆَุนَุงู‚ِุจَุฉِ ุฃَู…ْุฑِู‰ – ูَุงู‚ْุฏُุฑْู‡ُ ู„ِู‰ ، ูˆَูŠَุณِّุฑْู‡ُ ู„ِู‰ ، ุซُู…َّ ุจَุงุฑِูƒْ ู„ِู‰ ูِูŠู‡ِ ، ุงู„ู„َّู‡ُู…َّ ูˆَุฅِู†ْ ูƒُู†ْุชَ ุชَุนْู„َู…ُ ุฃَู†َّู‡ُ ุดَุฑٌّ ู„ِู‰ ูِู‰ ุฏِูŠู†ِู‰ ูˆَู…َุนَุงุดِู‰ ูˆَุนَุงู‚ِุจَุฉِ ุฃَู…ْุฑِู‰ – ุฃَูˆْ ู‚َุงู„َ ูِู‰ ุนَุงุฌِู„ِ ุฃَู…ْุฑِู‰ ูˆَุขุฌِู„ِู‡ِ – ูَุงุตْุฑِูْู†ِู‰ ุนَู†ْู‡ُ ، ูˆَุงู‚ْุฏُุฑْ ู„ِู‰َ ุงู„ْุฎَูŠْุฑَ ุญَูŠْุซُ ูƒَุงู†َ ، ุซُู…َّ ุฑَุถِّู†ِู‰ ุจِู‡ِ

Allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika, wa astaqdiruka bi qudratika, wa as-aluka min fadhlika, fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma fa-in kunta ta’lamu hadzal amro (sebut nama urusan tersebut) khoiron lii fii ‘aajili amrii wa aajilih (aw fii diini wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii) faqdur lii, wa yassirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Allahumma in kunta ta’lamu annahu syarrun lii fii diini wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii (fii ‘aajili amri wa aajilih) fash-rifnii ‘anhu, waqdur liil khoiro haitsu kaana tsumma rodh-dhinii bih.

[Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku beristikhoroh pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak. Engkaulah yang mengetahui perkara yang ghoib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku (baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, takdirkanlah yang terbaik bagiku di mana pun itu sehingga aku pun ridho dengannya]

Keempat: Lakukanlah pilihan yang sudah dipilih di awal tadi, terserah ia merasa mantap atau pun tidak dan tanpa harus menunggu mimpi. Jika itu baik baginya, maka pasti Allah mudahkan. Jika itu jelek, maka pasti ia akan palingkan.
Wallahu alam

๐ŸŒฟ๐ŸŒบ๐Ÿ„๐Ÿ€๐ŸŒท๐ŸŒน๐ŸŒป

Dipersembahkan Oleh:
www.iman-manis.com

๐Ÿ’ผSebarkan! Raih Bahagia....


@



Kamu sedang berada dipostingan Haruskah Minta Izin Istri Jika Ingin Poligami?, Haruskah Minta Izin Istri Jika Ingin Poligami?, Haruskah Minta Izin Istri Jika Ingin Poligami?, Haruskah Minta Izin Istri Jika Ingin Poligami?, Haruskah Minta Izin Istri Jika Ingin Poligami?, Haruskah Minta Izin Istri Jika Ingin Poligami?, Haruskah Minta Izin Istri Jika Ingin Poligami? , Haruskah Minta Izin Istri Jika Ingin Poligami?

0 comments:

Post a Comment - Kembali ke Konten

Haruskah Minta Izin Istri Jika Ingin Poligami?